Nama : Natasya Angelina
NIM : 201566093
SESI : 01
PERUBAHAN POLA PENYAKIT DIABETES
MELITUS
Gaya
hidup modern dengan banyak pilihan menu makanan dan cara hidup yang
kurang sehat yang semakin menyebar
keseluruh lapisan masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah
penyakit degenerative. Diabetes Melitus (yang selanjutnya disingkat DM)
merupakan salah satu penyakit degenerative (Krisnatuti, 2008).
Penyakit
Diabetes Melitus merupakan penyakit degeneratif yang sangat terkait dengan pola
makan. Pola makan merupakan gambaran mengenai macam-macam, jumlah dan
komposisi bahan makanan yang dimakan
tiap hari oleh seseorang. Gaya hidup di perkotaan
dengan pola diet yang tinggi lemak,
garam, dan gula, keseringan menghadiri resepsi/pesta,
mengakibatkan masyarakat cenderung
mengkonsumsi makanan secara berlebihan
mengakibatkan berbagai penyakit
termasuk DM. WHO memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM di Indonesia dari 8,4
juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada
tahun 2030.
SEJARAH PENYAKIT DIABETES MELITUS
Pada 1552 SM (Sebelum Masehi), di
Mesir dikenal penyakit yang ditandai dengan sering kencing dan dalam jumlah
yang banyak (yang disebut dengan poliurial) serta penurunan berat M badan yang cepat
tanpa disertai rasa nyeri. Kemudian pada 400 SM, seorang penulis India yang
bernama Sushratha menyebut penyakit tersebut dengan “penyakit kencing madu”
(honey urine disease).Nama penyakit tersebut dikenal luas di kalangan
niasyarakat dunia dan sangat populer di kalangan medis pada masa itu. Seiring
perjalanan waklu, pada 200 SM tersebutlah Aretaeus yang memberi nama penyakit
tersebut dengan “diabetes
mellitus”. Diabetes berarti “mengalir terus” dan Mellitus berarti “rnanis”.
Penamaan tersebut berdasarkan ciri-ciri yang terjadi pada penderitanya. Disebut
Diabetes karena penderita minum terus- menerus dan dalam jumlah yang banyak
(atau polidipsia), yang kemudian “mengalir terus” berupa air seni (urine);
sedangkanpenyebutan Mellitus berdasarkan pada fakta air seni penderita
mengandung gula (manis).
Pada
dasarnya, DM terjadi karena tubuh Anda kekurangan hormon insulin atau hormon
insulin yang ada tidak mencukupi kebutuhan, atau tidak dapat bekerja normal.
Padahal hormon insulin mempunyai peranan utama untuk mengatur kadar glukosa (=
gula) di dalam darah menjadi sekitar 60-120 mg/ dL pada waktu puasa dan di
bawah 200 mg/dL pada dua jam sesudah makan.
Penyakit
DM tercantum dalam urutan nomor empat dari prioritas penelitian nasional untuk
penyakit degenerative setelah penyakit kardiovaskuler, serebrovaskuler, dan
geriatrik (Krisnatuti,2008). Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah
Diabetes Melitus tipe 2 (Sudoyo, 2007). Berbagai penelitian epidemiologi
menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM
tipe2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah
penyandang diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO
memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
Indonesia berada diperingkat keempat jumlah penyandang DM di dunia setelah Amerika Serikat, India, dan Cina (Hans, 2008). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, angka prevalensi diabetes mellitus tertinggi terdapat di provinsi Kalimantan Barat dan Maluku Utara (masing-masing 11,1 persen), diikuti Riau (10,4 persen) dan NAD (8,5persen). Prevalensi diabetes mellitus terendah ada di pro vinsi Papua (1,7 persen), diikuti NTT (1,8persen). Prevalensi Diabetes di Sulawesi Utara berdasarkan profil kesehatan provinsi SULUT tahun 2008 di dapatkan angka lebih tinggi di tingkat provinsi SULUT(1,6%) daripada angka nasional(1,0%). Penyakit ini tersebar di seluruh kabupaten dan kota di SulawesiUtara,dengan prevalensi tertinggi di kota Manado.
Indonesia berada diperingkat keempat jumlah penyandang DM di dunia setelah Amerika Serikat, India, dan Cina (Hans, 2008). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, angka prevalensi diabetes mellitus tertinggi terdapat di provinsi Kalimantan Barat dan Maluku Utara (masing-masing 11,1 persen), diikuti Riau (10,4 persen) dan NAD (8,5persen). Prevalensi diabetes mellitus terendah ada di pro vinsi Papua (1,7 persen), diikuti NTT (1,8persen). Prevalensi Diabetes di Sulawesi Utara berdasarkan profil kesehatan provinsi SULUT tahun 2008 di dapatkan angka lebih tinggi di tingkat provinsi SULUT(1,6%) daripada angka nasional(1,0%). Penyakit ini tersebar di seluruh kabupaten dan kota di SulawesiUtara,dengan prevalensi tertinggi di kota Manado.
Grafk
diatas menunjukan bahwa penyakit
Diabetes Melitus di Indonesia mengalami peningkatan jumlah kematian pada tahun
1994, 1998, 2000, dan pada tahun 2010.
PERUBAHAN POLA PENYAKIT DAN KEMATIAN
PADA PASIENHIPERTENSI
Menurut
Depkes RI (2001) mengemukakan terjadinya transisi epidemiologi penyakit
ditunjukkan dengan adanya kecenderungan perubahan pola kesakitan dan pola penyakit
yaitu adanya penurunan prevalensi penyakit infeksi, namun terjadi peningkatan
prevalensi penyakit non-infeksi atau penyakit degeneratif seperti: hipertensi,
stroke, kanker, diabetes melitus dan lain-lain. Selain itu perubahan gaya hidup
(life style)masyarakat dan sosial ekonomi juga
dapat memicu semakin meningkatnya
prevalensi penyekit degeneratif, di mana juga masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat, salah satunya adalah hipertensi dan sering kali dijumpai tanpa
gejala, walau relatif mudah diobati namun apabila tidak diobati akan
menimbulkan komplikasi seperti Stroke, Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
(PJP), Gangguan Ginjal dan lain-lain yang pada akhirnya dapat mengakibatkan
cacat maupun kematian (Bustan, MN, 1995).
Profil
Kesehatan Sumatera Utara (2001) melaporkan bahwa prevalensi hipertensi di
Sumatera Utara sebesar 91 per 100.000 penduduk, sebesar 8,21% pada kelompok
umur di atas 60 tahun untuk penderita rawat jalan.Berdasarkan penyakit penyebab
kematian pasien rawat inap di Rumah Sakit Kabupaten/ Kota Provinsi Sumatera
Utara, hipertensi menduduki peringkat pertama dengan proporsi kematian sebesar
27,02% (1.162 orang), pada kelompok umur ≥60 tahun sebesar 20,23% (1.349
orang).
Di
Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan hipertensi termasuk ke dalam sepuluh
penyakit terbesar dari penderita yang dirawat inap di bangsal penyakit dalam.
Dari 400 penderita stroke yang dirawat di bangsal penyakit dalam pada tahun
1982-1985 38% menderita hipertensi (Sumartono dan Aryastamy, 1999).
Hasil
penelitian Hanim (2003) proporsi penderita hipertensi rawat inap di RSUP H.Adam
Malik Medan adalah 1,78%, proporsi laki-laki lebih besar daripada perempuan
yaitu sebesar 53,1%. Di wilayah kerja Puskesmas Pekan Labuhan, hipertensi
merupakan rangking ketiga dari 10 penyakit terbesar yang dilaporkan dengan
jumlah 1.776 pasien yang datang berobat selama tahun 2003. Jumlah kunjungan ke
Puskesmas dari semua penyakit adalah 15.255 pasien, dengan demikian proporsi
kunjungan penyakit hipertensi sebesar 11,64% (Puskesmas Pekan Labuhan, 2003).
Grafik Penyebab kematian paling
besar (WHO, 2005)
Indonesia:
59,5% Kematian Akibat Penyakit Tak Menular, Termasuk Jantung
Di Indonesia, sebagai salah satu
negara berkembang ternyata masih berjuang menghadapi pelbagai masalah kesehatan.
Penyakit infeksi masih menjadi prioritas utama dalam pembangunan kesehatan, di
sisi lain perubahan gaya hidup yang serba cepat tidak menahan laju perkembangan
penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah. Hal ini
diperkuat dengan data yang diperoleh pada tahun 2007, angka kematian akibat
penyakit jantung dan tidak menular pada tahun 1995 sebesar 41,7% meningkat
menjadi 59,5% pada tahun 2007.
Kalimantan Selatan “Juara
Hipertensi”
Penyakit hipertensi sebagai salah
satu “kawan” dari penyakit jantung, ternyata dinilai cukup tinggi di Indonesia.
Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, angka kejadian
atau prevalensi penduduk Indonesia berusia di atas 18 tahun dengan hipertensi
adalah sebesar 31,7%. Ternyata hipertensi tidak hanya terjadi pada penduduk
berusia di atas 18 tahun, namun juga pada penduduk berusia 15-17 tahun. Jika
dilihat berdasarkan kriteria hipertensi sesuai JNC VII, terdapat 4050 (8,4%)
penduduk berusia 15-17 tahun dengan hipertensi. Prevalensi hipertensi tertinggi
berdasarkan provinsi terdapat di Kalimantan Selatan (39,6%), dan terendah di
Papua Barat (20,1%).
Hasil dari Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007 memperlihatkan bahwa prevalensi beberapa penyakit
jantung dan pembuluh darah seperti hipertensi sangat tinggi yaitu 31,7%,
diikuti stroke sebesar 8,3% dan penyakit jantung sebesear 7,2% per 1.000
penduduk.
Aceh “Juara Stroke”
Penyakit kardiovaskular juga erat
kaitannya dengan penyakit stroke. Di Indonesia, angka prevalensi stroke juga
cukup tinggi yaitu sekitar 72,3%, dengan provinsi Aceh menduduki angka
prevalensi tertinggi yaitu 16,6% dan terendah di Papua (3,8%).
Data Riskesdas memperlihatkan bahwa
penyebab kematian utama untuk semua umur adalah stroke (15,4%), hipertensi
(6,8%), penyakit jantung iskemik (5,1%), dan penyakit jantung lainya (4,6%).
Angka kematian pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan akibat stroke
sebesar 15,9%, kemudian penyakit jantung sistemik sebesar 8,7% dan hipertensi
serta penyakit jantung lainya sebesar 7,1%. Sementara itu di pedesaaan, angka
kematian tertinggi diakibatkan oleh penyakit menular yaitu tuberkulosis (TBC)
diikuti oleh stroke sebesar 11,5% dan hipertensi 9,2% dan penyakit jantung
iskemik 8,8%.
Pada penduduk usia 55-64 tahun yang
tinggal di daerah perkotaan, stroke tetap menjadi penyebab kematian utama
(26,8%), kemudian penyakit jantung iskemik (5,8%), hipertensi (8,1%), dan
penyakit jantung lainnya (4,7%).
Bagaimana dengan penduduk di
pedesaan? Ternyata pola penyebab kematian di pedesaan dan perkotaan menunjukkan
pola yang serupa dengan stroke (17,8%) sebagai penyebab kematian utama, diikuti
oleh beberapa penyebab lain antara lain hipertensi (11,4%), penyakit jantung
iskemik (5,7%), dan penyakit jantung lain (5,1%).
Daftar
pustaka
Roupa,
dkk. (2009). Health science journal.
http://www.hsj.gr/
volume3/issue1/35.pdf.
Bustan,
M. N., 1995. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. PT. Rineka Cipta, Jakarta
Prodjosudjadi,
W., 2000. Hipertensi, Berkala Neurosains, Vol 1, No.3: 133-139 Jakarta.